Terlihat ramai di banyak laman media sosial saat ini informasi tentang kelas tadabbur Alquran. Sebagai seorang muslim, hal ini tentu menjadi berita yang sangat membahagiakan. Bagaimana tidak, melihat saudara sesama muslim kembali mendekat dan menggeluti kalamullah adalah sebuah hal yang patut disyukuri. Bukankah memang ini tujuan diturunkannya Alquran? Sebagaimana firman Allah azza wajalla:
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.” (QS Shad: 29)
Syekh Abdurrahman bin Nashir as Sa’diy rahimahullahu berkata:
هذه الحكمة من إنزاله، ليتدبر الناس آياته، فيستخرجوا علمها ويتأملوا أسرارها وحكمها، فإنه بالتدبر فيه والتأمل لمعانيه، وإعادة الفكر فيها مرة بعد مرة، تدرك بركته وخيره، وهذا يدل على الحث على تدبر القرآن، وأنه من أفضل الأعمال، وأن القراءة المشتملة على التدبر أفضل من سرعة التلاوة التي لا يحصل بها هذا المقصود
“Demikianlah hikmah diturunkan Alquran, yakni agar manusia mentadabburi ayat-ayat-Nya. Mereka menyarikan ilmu yang terkandung di dalamnya, merenungi rahasia dan hikmah di baliknya. Karena dengan mentadabburi dan merenungi makna Alquran, mencurahkan segenap pikiran, kita akan mendapatkan keberkahan dan kebaikan Alquran. Hal ini merupakan motivasi agar kita semangat dalam mentadabburi Alquran, karena ialah sebaik-baik perbuatan. Dan bacaan yang diiringi dengan perenungan akan menjadi lebih baik dibandingkan sekedar baca yang tentu saja tujuan ini tidak tercapai.” (Tafsir As Sa’diy 712)
Namun, baik menafsirkan Alquran atau mentadabburinya, seseorang membutuhkan ilmu yang cukup. Tidaklah seorang sembarangan mengurai dan menjelaskan kandungan atau faidah yang tersimpan, kecuali didasarkan atas ilmu. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallama bersabda:
اتَّقوا الحديثَ عنِّي إلَّا ما علِمتُمْ فمَن كذبَ عليَّ مُتعمِّدًا فليتَبوَّأْ مَقعدَهُ مِن النَّارِ ، ومَن قال في القرآنِ برأيِّهِ ، فليتَبوَّأْ مَقعدَهُ مِن النَّارِ
“Berhati-hatilah dari pembicaraan tentangku kecuali apa yang kalian ketahui dengan pasti. Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja maka bersiaplah akan tempat kembalinya di neraka. Dan barangsiapa berbicara tentang Alquran dengan akalnya semata, maka persiapkan bahwa neraka adalah tempatnya kembali.” (HR At Tirmidzi 2951)
Hal ini yang menjadikan para salaf kita memiliki kekhawatiran luar biasa dari sembarangan berbicara tentang firman Allah jalla jalaaluh. Bahkan disebutkan dalam sebuah riwayat yang dinukil oleh Ibnu Taimiyah rahimahullahu dalam kitab Muqaddimah fii Ushuul al Tafsiir hlm 49 bahwa Yazid bin Abi Yazid menceritakan:
كنا نسأل سعيد بن المسيب عن الحلال والحرام، وكان أعلم الناس، فإذا سألناه عن تفسير آية من القرآن سكت كأن لم يسمع
“Kami bertanya kepada Said bin Al Musayyib tentang fikih, maka beliau adalah seorang yang paling alim. Tapi ketika kami beranjak ke pertanyaan tafsir Alquran, maka beliau terdiam seolah tak mendengarnya.”
Kesalahan sebagian orang adalah menganggap bahwa fase tadabbur adalah fase yang ringan. Setiap orang merasa berhak untuk berbicara atau membicarakannya. Padahal para ulama menyatakan bahwa tidaklah tadabbur dapat dilakukan kecuali seseorang paham tentang tafsir ayat tersebut. Syekh Musaid al-Thayyar hafidzahullahu mengatakan:
والأصل أن مرحلة التدبر تأتي بعد الفهم … وأن التدبر يكون فيما يتعلق بالتفسير، أي أنه يتعلق بالمعنى المعلوم
“Pada asalnya, fase tadabbur tidaklah dapat dilakukan kecuali setelah seseorang benar-benar paham. Tadabbur berkaitan erat dengan tafsir ayat yang bersangkutan. Yakni tidak dapat dipisahkan dari makna yang sudah jamak diketahui.” (Secara ringkas dari Mafhuum al Tafsiir 187)
Sehingga, kita dapati detail yang disampaikan para ulama tentang kaidah-kaidah tadabbur dalam kitab-kitab mereka adalah pengetahuan atau cabang ilmu yang memang harus diketahui seorang penafsir. Sebagaimana diungkapkan oleh syekh Khalid al-Sabt hafidzahullahu:
إن من هذه الأنواع ما يصلح لعموم الناس، ومنها ما لا يُحسِنُه إلا العلماء، وبناء على ذلك فإن من الشَّطَط أن تتوجَّه الأذهانُ عند الحديث عن التدبر إلى استخراج المعاني واللطائف والنِّكات الدقيقة التي لم نُسْبَق إليها(!!) فإن ذلك لا يصلح إلا للعلماء، لكنَّ المؤمن يتدبر ليُرَقِّق قلبه، ويتعرَّف مواطنَ العِبَر، ويَعْرِض نفسَه على ما ذكره الله تعالى في القرآن الكريم من أوصاف المؤمنين، ويحذر من الاتصاف بصفات غيرهم، إلى غير ذلك مما ينتفع به، ويمكن حصوله لكلِّ من تدبر كتاب الله عز وجل
“Dari beberapa tipe tadabbur ada yang memang orang awam akan paham, ada yang hanya ulama yang dapat menjangkaunya. Yang perlu menjadi perhatian ketika merenungi atau mentadabburi ayat adalah menyarikan makna atau rahasia atau sesuatu yang pelik yang bahkan tidak pernah dijelaskan para ulama sebelumnya. Maka fase demikian tidaklah layak kecuali oleh para ulama. Namun, setiap mukmin dapat mentadabburi ayat untuk melembutkan hati mereka, seperti tahu ayat-ayat yang berisi ibrah, memerhatikan ketika Allah menjelaskan karakteristik orang-orang beriman, berhati-hati dari ciri khas orang-orang tidak beriman, dan selain ini yang dapat bermanfaat bagi mereka. (Jika sekedar ini) maka hal ini tidaklah mengapa bagi mereka yang mentadabburi kitabullah.” (Al Khulashah fi Tadabburil Quran 36)
Lantas bagaimana peran kita jika ilmu kita belum memadai? Ada dua cara, yaitu: Pertama, belajar dari para guru dan ini merupakan cara yang paling ‘mudah’. Kedua, berusaha mempelajari kaidah-kaidah tadabbur yang dijelaskan oleh para ulama melalui kitab-kitab mereka. Dan tentu saja, cara yang kedua membutuhkan perjalanan yang panjang. Namun, panjangnya perjalanan bukanlah soalan. Karena sampai atau tidak sampai, kita hanya butuh terus istikamah di atas jalan ini. Semoga Allah wafatkan kita dalam kondisi belajar Alquran.